Fredrik Abia Kande
Pengantar
Persidangan Sinode Istimewa (PSI) GMIT III tahun 2025 dilaksanakan untuk membahas dan menetapkan Pokok-pokok Ajaran GMIT (PPAG). Pokok-Pokok Ajaran GMIT terdiri dari 57 pokok teologis, yang secara umum menyangkut pemahaman tentang Allah Tritunggal, dunia, manusia, gereja dan konteksnya. Itu sebabnya diperlukan subtema untuk membingkai cara pandang dari para pemimpin dan pelayan gereja dalam mendiskusikan dan menyepakati PPAG dimaksud.
Tulisan ini merupakan sebuah perspektif pendididikan/pengajaran atas subtema sidang yakni: Kebenaran yang Memerdekakan: Fondasi Pengajaran Gereja yang Adil, Setia, dan Rendah Hati”. TentuSubtema ini dipilih dengan suatu harapan bahwa PPAG yang akan dibahas dan ditetapkan dapat menjadi pegangan bagi anggota gereja dalam kehidupan bergereja.
Pentingnya kebenaran
Manusia sedang memasuki suatu suatu era, dimana ia benar-benar diuji untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Kebenaran menjadi sumber daya yang langka saat ini. Kemajuan di bidang teknologi informasi telah mendatarkan (flat) dunia dengan penyebaran berita benar, tetapi juga berita bohong. Algoritma komputer digunakan untuk memanipulasi aliran berita dengan menyebarkan konten palsu, hoaks, atau propaganda. Tujuannya untuk mendapatkan perhatian atau memengaruhi opini publik, dan sudah dapat dipastikan bahwa dapat memberi dampak yang merusak. Seolah-olah perilaku yang demikian telah membawa manusia kepada suatu titik nadir.
Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang mencintai kebenaran. Sifat hakiki manusia sebagai seorang penemu, pencerita, pemberita, pengembang, penyampai nilai-nilai kebenaran, dan seterusnya menegaskan manusia sebagai makhluk yang mencintai kebenaran. Kebenaran merupakan nilai utama dalam kehidupan manusia, dimana martabat kemanusiaan ditegakkan, manakala nilai kebenaran dipegang teguh. Manusia akan mengalami kesangsian, perasaan tertuduh, pertentangan batin, dan konflik psikologis manakala ia kehilangan pegangan akan nilai-nilai kebenaran.
Itu sebabnya, manusia membutuhkan kebenaran bahkan perlu mengonstruksi kebenaran melalui suatu penalaran dan penghayatan akan pengalaman maupun keyakinan-keyakinan imannya. Kebenaran akan menjadi basis bagi pengetahuan manusia yang bersifat evolutif. Dimana, maju tidaknya pengetahuan tergantung pada seberapa sering manusia menggunakan kekuatan evolusi otak.
Hakikat Kebenaran
Kebenaran dalam bahasa Latin disebut dengan “veritas“. Kata ini sering digunakan dalam ungkapan Latin, seperti “Veritas vos liberabit” (Kebenaran akan membebaskanmu) atau “Magna est veritas et praevalebit” (Kebenaran itu besar dan akan menang). Secara harafiah kata Veritas menunjuk kepada “realitas”. Ada realitas obyektif, realitas subyektif, dan realitas inter-subyektif. Di dalam mitologi Romawi, Veritas dipersonifikasikan sebagai dewi kebenaran. Banyak universitas dan sekolah menggunakan Veritas sebagai moto untuk menjunjung nilai-nilai kebenaran.
Dalam berbagai tradisi filsafat dan agama, pencarian kebenaran sering kali melibatkan disiplin diri, akal budi, iman, serta keterbukaan terhadap bimbingan ilahi atau spiritual. Di bidang agama misalnya, manusia berupaya melakukan penemuan melalui otoritas (kitab suci, ajaran agama), dan pengalaman langsung (empiris).
Menurut sejarah, sejak di Eropa pada abad pertengahan, rumus utama untuk pengetahuan adalah Pengetahuan= Kitab Suci x Logika.Bila orang ingin tahu jawaban atas sebuah pertanyaan penting, mereka akan membaca kitab suci, dan menggunakan logika mereka untuk memahami makna sesungguhnya teks kitab suci. Misalnya, para sarjana yang ingin menentukan bentuk Bumi, menelusuri Alkitab untuk mencari referensi yang relevan. Orang mengemukakan bahwa dalam Ayub 38: 13 dikatakan, Tuhan bisa “memegang ujung-ujung Bumi, dan orang-orang fasik dikebaskan darinya”. Demikian para cendekiawan memberi alasan, bahwa karena Bumi memiliki “ujung-ujung” yang bisa “dipegang” oleh Tuhan maka pasti Bumi berbentuk persegi datar. Orang bijak lainnya menolak penafsiran ini, menyerukan perhatian pada Yesaya 40: 22, yang menyatakan Tuhan “duduk bertakhta di atas bulatan Bumi”. Bukankah itu bukti bahwa Bumi bulat? Para sarjana kemudian mencari pengetahuan dengan menghabiskan waktu bertahun-tahun di sekolah dan perpustakaan, membaca lebih banyak teks, dan mempertajam logika sehingga mereka bisa memahami teks-teks itu dengan benar (Harari, 2015).
Lalu, revolusi saintifik mengajukan rumus yang sangat berbeda untuk pengetahuan: Pengetahuan= Data empiris x Matematika. Jika ingin tahu jawaban atas suatu pertanyaan, kita perlu mengumpulkan data empiris yang relevan, kemudian menggunakan alat-alat matematika untuk menganalisisnya. Kemudian, kaum Humanis menawarkan sebuah alternatif; setelah manusia mendapatkan pekerjaan untuk dirinya sendiri, sebuah rumus baru dalam memperoleh pengetahuan etis muncul: Pengetahuan= Pengalaman x sensivitas. Jika kita ingin tahu jawaban atas pertanyaan etis apa pun, kita perlu menjangkau pengalaman dalam diri kita dan mengamatinya dengan sensivitas tertinggi (Harari, 2015).
Cara berpengetahuan manusia yang terus mengalami perkembangan menjadikan manusia semakin otonom dalam membangun kebenaran-kebenaran. Oleh karena mampu mengonstruksikan pengetahuan dari dalam pengalaman dan dibantu dengan kepekaan yang terus diasa. Bila di masa lalu, teologi dapat menjelaskan berbagai fenomena semesta maka di masa kini dengan lahirnya berbagai disiplin ilmu telah membantu manusia menjelaskan secara teknis berbagai fenomena semesta tersebut secara saintifik.
Cara Mendapatkan Kebenaran
Ini terkait dengan epistemologi pengetahuan. Ada sebuah cerita, dalam suatu perdebatan filosofis, Raja James VI dari Skotlandia menulis kata epistemon (berpengatahuan) dalam sebuah risalah yang diterbitkan. Risalah ini kemudian memiliki pengaruh yang luas terhadap perkembangan intelektual Inggris dan Skotlandia terutama dalam menanggapi ilmu sihir selama abad ke-17. Risalah ini juga sebagai personifikasi dari sebuah konsep filosofis untuk menanggapi perdebatan antara tradisi Kristen dengan agama kuno. Raja James berupaya mempromosikan ajaran dan tradisi Kristen manakalah berhadapan dengan publikasi ilmu sihir dan setan yang berlangsung masif di abad 16 dan awal abad 17 saat itu.Ia berbicara tentang Tongkat Harun berubah menjadi ular dan menelan tongkat-tongkat orang-orang berilmu dan ahli sihir dari Firaun (Slaughter, 2020). Jadi, apa yang dilakukan oleh Raja James merupakan sebuah epistimologi untuk membangun kebenaran dalam tradisi Kristen. Raja James berupaya mendapatkan kebenaran teologis dengan menegaskan ulang sebuah cerita kontras di era Musa.
Ada kisah penting lagi, sekitar awal abad 19, di AS, manusia mengalami masalah serius terkait dengan penggunaan perangkat listrik yang satu ini, yakni transformator listrik (Trafo). Dimana tranformator sebagai perantara arus yang digunakan saat itu seringkali pecah, manakala Trafo itu dilewati oleh tegangan listrik yang sangat tinggi. Para ahli mulai berpikir mencari solusi. Mereka membaca Alkitab, dari Matius 6: 33, Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Dalam refleksi itu mereka yakin bahwa, pasti jawabannya ada di dalam Alkitab. Lalu, mereka membaca kisah tentang Yesus membuat mujizat pertama di Kana, Air Berubah menjadi Anggur. Menurut ilmu kimia, air adalah senyawa kimia tunggal (H20) sedangkan anggur adalah campuran kompleks yang mengandung berbagai zat kimia (tidak tunggal), dan perubahan senyawa dari anggur ke air secara tiba-tiba dapat menyebabkan wadah atau tempayan dapat pecah. Tetapi, mengapa saat terjadi mujizat di Kana, wadah tersebut tidak pecah. Para ahli kemudian meminta ijin kepada pemerintah Israel untuk mengadakan penelitian di Museum Pemerintah Israel untuk menemukan kandungan yang terdapat pada bahan pembuatan tempayan tersebut. Penelitian berhasil menemukan kandungan tersebut dan para ahli lalu menjadikan kandungan tersebut sebagai salah satu bahan dalam pembuatan transformator listrik (trafo) yang digunakan oleh semua umat manusia di seluruh dunia.
Secara umum terdapat 5 cara untuk mendapatkan kebenaran pengetahuan, meliputi:
- Cara Akal
Dengan melakukan penalaran tanpa pengamatan pada obyek atau peristiwa tertentu. Mulai dari mengajukan premis mayor, premis minor, dan konklusi. Cara akal akan menghasilkan kebenaran rasional (Deduktif). Ilmu yang menjelaskan ini disebutkan Logika (Ilmu tentang berpikir).
2. Cara Indra/pengalaman
Dengan melihat, mendengar, merasa, mengecap, mencium, meraba untuk pengetahuan tentang obyek dan fenomena tertentu (kebenaran induktif).
3. Kombinasi cara akal dan indra/pengalaman
Dengan melakukan penalaran disertai pengamatan pada objek atau peristiwa melalui penelitian ilmiah. Kebenaran yang dihasilkan yakni kebenaran ilmiah (teoretik + pengalaman).
4. Cara Iman
Dengan membangun keyakinan imannya kepada Tuhan (kebenaran mutlak).
5. Cara Metafisik
Dengan melihat sesuatu di balik yang nyata (fisik), yang tidak dapat sepenuhnya dijelaskan oleh ilmu sains biasa, melainkan melalui spekulasi filosofis, yakni yang bersifat ontologis. Termasuk juga membahas aspek non-fisik yang mempengaruhi kehidupan, seperti intuisi, hati nurani, cinta, kepercayaan, dan motivasi.
Fungsi kebenaran
Lalu apa sesungguhnya fungsi dari kebenaran? Fungsi kebenaran sama halnya dengan fungsi pengetahuan yakni: 1) untuk menjelaskan masalah, objek, atau fenomena/peristiwa; 2) untuk memprediksi masalah, objek, dan fenomena/peristiwa; 3) untuk mengantisipasi/ mencegah kemunculan masalah.
Pengetahuan dibutuhkan oleh karena terdapat begitu banyak masalah, obyek, atau fenomena yang tidak dapat dijelaskan dan dipecahkan. Pengetahuan diperlukan untuk menerangi setiap sudut pandang dan sudut aktivitas manusia. Ibarat, manusia yang berjalan di lorong-lorong kehidupan, ia perlu diterangi dengan suatu pemikiran dan pengetahuan agar dapat mengerti akan hal-hal yang dijumpainya dan tidak tersesat. Pengetahuan juga diperlukan untuk menyingkapkan rahasia-rahasia atau sesuatu yang dianggap misteri. Misalnya kehidupan atau keadaan di dasar laut, atau keadaan di ruang angkasa, atau keadaan di kutub utara, dst.
Pengetahuan berfungsi menjelaskan kepada orang lain tentang suatu kebenaran kepada orang lain yang membutuhkannya. Band. Kisah Para Rasul 8:27-40). Adalah sida-sida, seorang pejabat tinggi dari Etiopia yang datang ke Yerusalem untuk beribadah. Dalam perjalanan pulang ia membaca Kitab Yesaya, namun ia tidak mengerti. Filipus menerangkan kitab Yesaya kepadanya, dan sida-sida itu kemudian menjadi percaya dan minta dibaptis.
Suatu pengetahuan juga dibutuhkan untuk memprediksi dampak dari suatu masalah. Masalah menunjuk kepada adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan (teori dan praktik), sehingga apabila dibiarkan maka akan berdampak serius. Bagaimana membayangkan dampak dari suatu masalah maka pengetahuan dibutuhkan untuk memprediksinya. Walaupun, antara masalah dan dampak tidak berada dalam waktu yang sama, masalah terjadi di masa kini atau masa lalu, sedangkan dampak dari masalah merupakan masa depan yang mungkin atau berpotensi terjadi, sebagai akibat logis dari masalah di masa kini atau masa lampau. Itu sebabnya pengetahuan dibutuhkan untuk memprediksinya. Band. Penafsiran Yusuf atas mimpi Firaun. Begitu pula nubuatan Yesaya dan Mika tentang kedatangan Mesias untuk menebus umat manusia. Atau Yeremia yang bernubuat mengenai masa depan Raja Zedekia sebagai akibat dari tidak konsistennya Zedekia untuk melepaskan para budak memasuki tahun ke-7. Jadi, pengetahuan diperlukan untuk memprediksi masa depan.
Pengetahuan diperlukan untuk mengantisipasi masalah. Bahwa masalah yang terjadi dapat membawa akibat di masa depan. Untuk mencegah dampak di masa depan maka perlu diantisipasi sejak dini. Itu sebabnya diperlukan pengetahuan yang benar sebagai dasar untuk mencegah perilaku atau keputusan yang memiliki dampak serius di masa depan. Band. Kej. 41: 33, di mana Yusuf menasihati Firaun agar dapat mengangkat seorang yang cerdas dan bijaksana dan memberinya kuasa untuk mengatur negeri, sebagai upaya untuk mencegah krisis ekonomi di masa depan.
Peranan Kebenaran dalam Pendidikan
Landasan pengetahuan yang kuat, dimana adanya kebenaran yang sahih menjadi dasar untuk membangun pengetahuan/pengajaran yang kuat: Pengetahuan/pengajaran yang adil=mengikat semua individu dan kelompok, baik ajaran dasar, ajaran warisan, ajaran sosial). Setia= menjadikan jiwa seorang murid (disciple) yang setia dan bersedia memberikan dirinya, bahkan mengorbankan segalanya. Rendah hati= Tidak merasa lebih dari apa yang telah ia perbuat, melainkan merasa kurang dan selalu ingin belajar).
Pengembangan keterampilan berpikir kritis, dimana dengan kebenaran yang diperoleh melalui proses belajar dapat menumbuhkan pemikiran kritis (critical thinking). Freire (2001) menyebutkan dengan kesadaran kritis, yaitu bentuk kesadaran yang ditandai oleh kematangan menafsirkan masalah, di mana sumber masalah, bukan pada orang, apalagi sebagai sebuah taqdir dari Tuhan, tetapi kepada suatu sistem, dan kultur.
Pengembangan karakter dan kepribadian, dimana adanya kebenaran dapat membangun sifat-sifat baik, baik individu maupun institusi. Individu dan institusi akan memiliki karakter yang kuat, memiliki harkat, dan sebagai benteng moral suatu bangsa.
Pendekatan dalam Mengoperasikan Kebenaran
Bagaimana kebenaran dapat dioperasikan pada tingkatan praktik. Dari perspektif pendidikan/pengajaran, kebenaran merupakan clue, petunjuk, acuan bagi praktik pendidikan. Clue dimaksud merupakan intisari dari pengajaran. Dalam pengertian yang terbatas, intisari pengajaran merupakan kurikulum yang berisi tentang pengalaman belajar nara didik.
Itulah sebabnya penting menggunakan pengetahuan yang benar untuk dijalankan di dalam kehidupan manusia, termasuk dalam organisasi gereja. Supaya bisa beroperasi dalam organisasi gereja maka pengetahuan harus memengaruhi cara berpikir (mind set), cara merasa (heart set), dan cara bertindak (action set). Pengetahuan harus meresap ke dalam hukum-hukum gereja, sistem, tradisi gereja, khotbah-khotbah, kurikulum, kebijakan dan program gereja.
Adalah Thomas Groome, seorang pendidik, teolog di bidang agama Kristen yang menggunakan pendekatan Shared Christian Praxis untuk mengoperasikan pengajaran gereja melalui 3 prinsip penting. Share, praxis, dan reflection. Baginya iman Kristen harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan bukan hanya menjadi pengetahuan teoritis belaka. Pendekatan ini menekankan pada pengalaman langsung, refleksi kritis, pembelajaran teoritis, dan aksi konkret yang harus saling terkait dan saling melengkapi.
Sharing, diperlukan komunitas untuk dapat berbagi pengetahuan, ide-ide, dan pengalaman nyata, baik itu studi kasus maupun berbagai praktik baik. Praxis, diperlukan untuk mendorong komunitas melakukan praktik-praktik spiritual, seperti doa, ibadah, terlibat dalam pelayanan sosial, dan berbuat baik dalam kehidupan sehari-hari. Reflection (refleksi) diperlukan untuk mengajak komunitas merenungkan pengalaman mereka dalam menerapkan iman Kristen, bahkan refleksi kritis terhadap tindakan dan pengalaman komunitas. Komunitas ditantang untuk menggali makna dan implikasi iman Kristen dalam kehidupan mereka sehari-hari. Melalui refleksi, komunitas dapat memperkuat pemahaman mereka tentang iman Kristen, mengidentifikasi tantangan dan pertanyaan yang muncul, serta menemukan cara untuk terus tumbuh dan berkembang dalam iman mereka.
Jauh sebelum pemikiran pemikiran Groom, justifikasi pemikiran ini telah lebih dahulu dikemukakan oleh Imanuel Kant (Edkins & William, 2009), bahwa pengetahuan manusia pada dasarnya dikondisikan (dibatasi) oleh kategori-kategori dalam kondisi ruang dan waktu tertentu. Begitu pula Habermas (Therik, 2005), seorang pendidik dan filsuf modernisme yang mengemukakan “rasionalitas komunikatif”, di mana penalaran manusia dan pemahaman intersubjektif (pemahaman bersama antarindividu) muncul dari proses komunikasi yang berorientasi pada kesepahaman atau agreement. Sama halnya dengan Foucault (1977) yang memandang diskursus (wacana) sebagai kombinasi antara bahasa dan praktik yang membangun pengetahuan dan kebenaran dalam suatu masyarakat. Namun baginya, wacana tidak netral, melainkan terikat erat dengan relasi kekuasaan (kuasa), di mana kekuasaan memproduksi wacana, dan wacana kemudian digunakan untuk menjalankan kekuasaan.
Kepemimpinan misalnya sebagai representasi dari kekuasaan, tidak boleh tertinggal jauh di belakang massa sehingga justru dikendalikan oleh massa tersebut. Kepemimpinan juga jangan berada jauh di depan massa dan meninggalkan mereka. Kepemimpinan yang baik adalah, yang selalu menyertai masyarakat, saling mengajar dan belajar selama masa perjuangan – inilah yang dilakukan Amílcar Lopes Cabral (Freire, 1978). Atau oleh Bapak Pendidikan Indonesia dengan semboyannya, “Ing ngarso sung tulodo, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani. Ing ngarso sung tulodo artinyadi depan menjadi teladan” atau “di depan memberi contoh dan panutan. Ing Madya Mangun Karsa artinya adalah “di tengah-tengah, membangun semangat” atau “membangun kemauan”, yang berarti seorang pemimpin atau pendidik harus mampu membangkitkan gairah dan memotivasi orang-orang di sekelilingnya untuk mencapai tujuan bersama atau cita-cita. Tut Wuri Handayani artinya, “dari belakang memberi dorongan.
Implikasi Praktis
Berdasarkan uraian di atas maka 3 (tiga) implikasi praktis dirumuskan, sebagai berikut:
- Kebenaran yang memerdekakan perlu dibangun di atas epistemologi yang benar, yang didasarkan pada akal, pengalaman, dan iman.
- Kebenaran yang memerdekakan diharapkan bermanfaat untuk menjelaskan, memprediksi, dan mengantisipasi beragam entitas seperti gereja dan fenomena lainnya termasuk tantangan di masa depan.
- Untuk mengoperasikan kebenaran yang memerdekakan maka pendekatan Shared Praxis dapat digunakan dengan pola berbagi, dialog, dan mendorong anggota GMIT terlibat dalam praktik-praktik spiritual dan pelayanan sosial gereja untuk menghindari “indoktrinisasi”, dan menghidupkan refleksi.
Kalabahi, 1 Oktober 2025
DAFTAR PUSTAKA
Dewantara, Ki H. (1977). Bagian pertama pendidikan. Cetakan kedua. Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa pada tahun: Yogyakarta.
Edkins, J., William, N. V. (2009). Teori-teori kristis. Menantang pandangan utama studi politik internasional. Penerjemah: Teguh Wahyu. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Foucault, M. (1977). Power/knowledge. Selected Interviews and Other Writings 1972-1977. The Harvester Press.
Freire, P. (1978). Pendidikan sebagai proses. Penerjemah: Agung Prihantoro. Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI). Yogyakarta.
Freire, Paulo. 2001. Pendidikan Yang Membebaskan. Penerjemah: Marton Eran.Jakarta. Penerbit Melibas.
Groom, T. H. (2010). Pendidikan agama Kristen. Penerjemah: Daniel Stefanus. BPK Gunung Mulia: Jakarta.
Harari, N. Y. (2015). Homo deus. Masa depan umat manusia. Penerjemah: Yanto Musthofa. PT Pustaka Alvabet.
Therik, M., A., W., (2005). Proses pengilmiahan politik menurut Habermas. Jurnal Studi Pembangunan Interdisipliner, Kritis, Edisi April-Juni 2006, PPs UKSW Salatiga.
Slaughter. L. (2020). King James and the intellectual influences of the king James and the intellectual influences of the witchcraft phenomenon in England and Scotland. A Dissertation Submitted in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree of Doctor of Philosophy in the College of Arts and Sciences Georgia State University.
[1] Anggota MS GMIT Bidang Pendidikan, Periode 2024-2027.